HALAMAN JUDUL
SADAQAH, HADIAH, HIBAH,
INFAQ, WAQAB,
DAN WASIAT
Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi
Tugas
mata kuliah Fiqih
Dosen
Pembimbing : Moh Noor Hidayat, S. Th.I.,
Oleh
Rahma Paujiah
(1601121086)
Marfuah
(1601121126)
Siti Qomaryah
(1601121102)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN
BAHASA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
TAHUN 1438 H / 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan, kelancaran beserta limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan suri tauladan bagi kita
semua.
Alhamdulillah berkat kehendak dan ridha-Nya, penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Sadaqah, hadiah, khibah,
infaq, waqab, dan wasiat”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
mata kuliah Fiqih di IAIN Palangka Raya.
Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penulis dan
pembaca. Begitu pula makalah ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun.
Palangka Raya,
Mei 2017
Penulis
Penulis
|
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah
agama yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala dan sebagai rahmat bagi
seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan
dalam agama Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan
lil ‘alamin.
“Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. A Maidah: 2)
“Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah Rodhiyallohu’anhuma bahwa RasulullahSholallohu’alaihi Wasallam bersabda, saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhori). Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, seperti hibah, sedekah, hadiah, bonus, kado, bingkisan atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen, dan evennya. Dalam makalah ini insyaAlloh akan dibahas secara singkat namun padat tentang permasalahan waqaf, hibah, sedekah, dan hadiah yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih.
“Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. A Maidah: 2)
“Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah Rodhiyallohu’anhuma bahwa RasulullahSholallohu’alaihi Wasallam bersabda, saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhori). Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, seperti hibah, sedekah, hadiah, bonus, kado, bingkisan atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen, dan evennya. Dalam makalah ini insyaAlloh akan dibahas secara singkat namun padat tentang permasalahan waqaf, hibah, sedekah, dan hadiah yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apaitu sadaqah?
2. Apaitu hadiah?
3. Apaitu hibah?
4. Apaitu infaq?
5. Apaitu waqab?
6. Apaitu wasiat?
C. TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas penulis dapat menyimpulkan tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui apa itu sodaqoh.
2. Untuk
mengetahui apa itu hadiah.
3. Untuk
mengetahui apa itu hibah.
4. Untuk
mengetahui apa itu infaq.
5. Untuk
mengetahui apa itu waqab.
6. Untuk
mengetahui apa itu wasiat.
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. SADAQAH
Secara etimologi, kata shodaqoh berasal dari bahasa Arab ash- shadaqah. Pada awal pertumbuhan
islam, shodaqoh diartikan dengan pemberian yang disunahkan (sedekah sunah). Sedangkan secara terminologi shadaqah
adalah memberikan sesuatu tanpa ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari Allah Swt.
Shodaqoh lebih utama apabila diberikan pada hari-hari mulia,
seperti pada hari raya idul adha atau idul fitri. Juga yang paling utama apabila
diberikan pada-pada tempat-tempat yang mulia, seperti di Mekkah dan Madinah.
Dari pengertian tadi, dapat diartikan bahwa shodaqoh
merupakan ibadah yang sifatnya lentur. Ia tidak dibatasi oleh waktu ataupun
batasan tertentu. Dengan demikian tidak ada waktu khusus untuk bersedekah.
Begitu juga, dalam sedekah tidak ada batasan minimal. Nabi saw. Bersabda:
”bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat menutup dari
kelaparan dan dapat menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”(HR.
Ibnu Mubarak).
Adapun pakar fiqh membagi beberapa contoh bersedekah ialah:
1.
Memberikan suatu dalam bentuk materi kepada orang miskin.
2.
Berbuat baik kepada orang lain
3.
Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa.
4.
Membantu orang yang akan menaiki kendaraan yang akan
ditumpanginya.
Bershadaqah berarti memberikan sebagian
harta yang kita miliki kepada pihak orang lain secara ikhlas dan suka rela, dan karena semata-mata
mengharapkan pahala dari Allah SWT. firman
Allah SWT.
* $yJ¯RÎ) àM»s%y‰¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% †Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur †Îûur È@‹Î6y™ «!$# Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# (
ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒO‹Å6ym ÇÏÉÈ
Artinya:
60. Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah
untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil Yang
mengurusnya, dan orang-orang muallaf Yang dijinakkan hatinya, dan untuk
hamba-hamba Yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang Yang berhutang,
dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang
keputusan) Dalam perjalanan. (Ketetapan hukum Yang demikian itu ialah) sebagai
satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui,
lagi Maha Bijaksana.
Shadaqah merupakan salah satu amal
shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "Apabila seseorang telah meninggal
dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua orang
tuanya". (HR. Muslim)
Pemberian shadaqah kepada perorangan
lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu, yakni sanak famili dan keluarga,
anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sebaya, dan seterusnya.Dalam kehidupan
sehari-hari biasa disebut sedekah.Hukum shadaqah ialah sunnah.
1.
Orang yang berhak menerima sedekah
2.
Orang-orang nyang saleh atau orang-orang yang ahli dalam
kebaikan.
3.
Orang yang paling dekat dari kita.
4.
Orang yang sangat membutuhkan.
5.
Orang kaya, keturunan Bani Hasyim, Orang kafir, dan fasik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam Bersedekah.
1.
Harta yang disedekahkan bukan berupa barang yang
haram, baik haram karena zat barangnya, seperti daging babi dan minuman keras,
maupun haram karena diperoleh dengan cara yang tidak halal. Bersedekah dengan
barang yang haram juga haram.
2.
Barang yang akan disedekahkan hendaknya berkualitas
baik. Sengaja memilih barang-barang yang jelek atau rusak untuk disedekahkan
hukumnya makhruh.
3.
Hendaknya menghindari hal-hal yang dapat membatalkan
sedekah. Hal–hal tersebut dijelaskan dalam surah Al-baqarah ayat 264, ”wahai
orang-orang yang beriman janganlah kamu merusak sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaaan penerima)”.
4.
Memberikan sedekah dengan ikhlas semata-mata mengharap
pahala dan keridaan Allah. bersedekah
karena pamer dan ingin mendapat pujian dari orang lain akan menjadikan
sedekah itu sia-sia dan tidak berpahal
5.
Harta yang disedekahkan hendaknya berupa barang-barang
yang tidak mudah rusak dan dapat terus bermanfaat untuk waktu yang lama. Hal
yang demikian disebut sadaqah jariyyah (sedekah yang pahalanya mengalir terus).
Artinya, selama benda tersebut masih memberikan manfaat kepada orang lain,
selama itu pula orang yang bersedekah akan terus mendapatkan pahala.[3]
B. HADIAH
1. Pengertian
Hadiah
Hadiah adalah memberikan sesuatu
secara cuma-cuma dengan maksud untuk memuliakan seseorang karena sesuatu
kebaikan yang telah diperbuat. Dengan kata lain, hadiah berfungsi sebagai
imbalan jasa dengan jumlah tidak ditentukan terlebih dahulu antara pemberi dan
penerima.
2.
Anjuran untuk saling
memberi hadiah
Rasulullah SAW. Terkenal sebagai
seorang yang pemurah (dermawan), terlebih pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan. Beliau menganjurkan kepada umatnya agar menjadi orang yang dermawan.
3.
Hukum
hadiah
Sabda Rasulullah SAW:” dari Abu
Hurairah r.a., Rasulullah SAW telah bersabda:’ sekiranya saya di undang
untuk makan sepotong kaki binatang pasti akan saya kabulkan undangan tersebut,
begitu juga kalau sepotong kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu akan
saya terima’.”
Dan di hadis yang lain menceritakan
bahwa Nabisendiri pun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama
muslim. Sebagaimana sabdanya yang artinya“Rasullullah menerima hadiah dan
beliau selalu membalasnya “ (HR. Al-Bazzar)
Berdasarkan hadis diatas, dapat di
simpulakn bahwa hukum hadiah adalah diperbolehkan dan akan di terima Allah SWT
dengan syarat berikut :
a)
Diundang untuk hadir di tempat undangan, maka hadiah
yang diberikan hendaklah di terima.
b)
Hadiah yang diberikan adalh untuk kebaikan.
c)
Tidak berlebih-lebihan (tidak boros) sebab mudaratnya
lebih besar dari manfaatnya.
d)
Hadiah tersebut bukan untuk pemintaan, tetapi tumbuh
dari hati nuraninya sendiri.
e)
Tidak diperbolehkan menolak hadiah.
f)
Pemberian berupa sesuatu yang di ridhai Allah SWT,
bukan pemberian yang dibenci/ dilarang Allah SWT.[4]
C. HIBAH
1. Pengertian khibah
Hibah ialah
pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk
dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat akad
hibah dinyatakan.
2.
Pendapat
ulama fiqih tentang hibah
a.
Menurut mazhab hanafi adalah benda dengan tanpa ada
syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian dilakukan pada saat si pemberi
masih hidup dan benda yang akan diberikan itu adalah syah milik Pemberi.
b.
Menurut mazhab Maliki adalah memberikan suatu zat
materi tanpa mengharap imbalan dan hanya ingin menyenangkan orang yang
diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama
dengan dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha
Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah
c.
Menurut madzhab Hambali hibah adalah memberikan hak
memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta
baik yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya tapi harta itu
ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian itu bersifat tidak wajib dan dilakukan
pada waktu Pemberi masih hidup dengan tanpa adanya syarat imbalan.
Menurut madzhab Syafi'i hibah
mengandung dua pengertian yaitu:
a.
Pengertian khusus adalah pemberian bersifat sunnah
yang dilakukan dengan ijab qabul pada waktu Pemberi masih hidup. Pemberian yang
tanpa maksud untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan mendapatkan pahala
dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya
b.
Pengertian umum adalah hibah dalam arti luas yang
mencakup hadiah dan shodaqoh.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama yaitu hibah adalah memberikan hak memiliki sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati, atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama yaitu hibah adalah memberikan hak memiliki sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati, atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan
3. Dasar Hukum
Hibah
Hibah adalah seperti hadiah, Hukum hibah adalah mubah
( boleh ), sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut :
Artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SA W telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karenasesungguhnya yang demikianitumerupakanrizki yang diberikanoleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad)
Artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SA W telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karenasesungguhnya yang demikianitumerupakanrizki yang diberikanoleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad)
Karena keduanya merupakan perbuatan baik yang di
anjurkan untuk dikerjakan. Firman Allah SWT:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya:
Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
.(Q.S. Al-Imran:92)
4. Kepemilikan Barang yang Dihibahkan
Harta yang
diberiakan lewat hibah langsung beralih kepemilikan dari pemberi hibah kepada
pihak kedua yang menerimanya. Namun, dalam hibah masih ada peluang untuk
umenarik kembali, yakni hibah yang diberikan seorang ayah kepada anaknya. Jika
seorang ayah melihat bahwa dengan hibah tersebut, seorang anak justru menjadi
lebih nakal (terjerumus dalam kehidupan yang tidak diridhai Allah SWT) dan
makin tidak teratur, si ayah boleh menarik kembali hibahnya. Selain hibah ayah
terhadap anaknya, pemberi hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali. [5]
5. Hukum Hibah
a.
Wajib
Hibah yang
diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai kemampuannya. Hal itu
didasarkan pada anak dan istri menjadi tanggung jawab suami. Agar tidak
menimbulkan rasa iri, sebaiknya hibah kepada anak diberikan adil.
b.
Haram
Hibah menjadi haram hukumnya apabila
harta yang telah dihibahkan ditarik kembali. Hukum haram menarik kembali hibah
ini tidak belaku bagi hibah seorang ayah kepada salah seorang anaknya. Jadi,
diperbolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang diberikan, mengingat anak
dan harta itu sebenarnya adalah milik ayah.
c.
Makruh
Menghibahkan
sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu, baik berimbang maupun lebih
banyak hukumnya makruh. Misalnya, orang muslim menghibahkan sesuatu kepada
orang lain dengan maksud orang tersebut membalasnya dengan pemberian yang lebih
besar.
Al-Qur’an
surat ar-Rum ayat 39 membicarakan masalah zakat. Namun, pada ayat tersebut
dapat diambil pelajaran secara umum (selain zakat). Orang yang menghibahkan
sesuatu hendaknya dengan niat ikhlas untuk membantu orang yang kekurangan.
Apabila menghibahkan sesuatu dangan memperoleh pengambilan, pada hakikatnya
tidak menolong, melainkan memeras. Dengan demikian, bukan pahala yang diterima,
tetapi dosa.
6. Rukun Hibah
a. Adanya orang
yang menghibahkan barang atau harta. Syaratnya :
·
Memiliki barang yang di berikan, bukan pinjaman atau
milik orang lain.
·
Baligh, berakal, dan cerdas.
·
Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/
pemboros.
b.
Adanya orang yang menerima hibah. Syaratnya :
·
mempunyai hak unutk memiliki barang hibah.
·
Tidak sahmenghibahkan kepada anak yang masih dalam
kandungan ibunya.
c.
Adanya sigat (ijab dan kabul). Seperti:
·
ijab: “Aku berikan barang ini kepada engkau …”
·
Kabul:”aku terima…”
·
Adanya barang yang dihibahkan, dengan syarat:
barang yang dihibahkan tersebut boleh dijual oleh si
penerima atau halal untuk di gunakan.
7. Macam-macam
Hibah
Hibah dapat
digolongkan menjadi dua macam yaitu :
a.
Hibah barang adalah memberikan harta atau barang
kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang
tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya
menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.
Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak
lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi
harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain,
dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak
pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah)
dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan
pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang
yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.[6]
D. INFAQ
1.
Pengertian Infaq
Secara lughawi (etimologis)
infaq berasal dari akar kata n-f-q نفض yang berarti membelanjankan harta. Dalam istilah fiqih
infaq (infak) adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta yang baik untuk
perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan. Dari pengertian di atas, maka menafkahi anak istri
termasuk dari pada infaq.
Infaq secara
hukum terbagi menjadi: (a) Infaq mubah; (b) infaq wajib; (c) infaq haram; (d)
infaq sunnah.
Mengeluarkan
harta untuk perkara mubah seperti berdagang, bercocok tanam seperti tersebut
dalam QS Al-Kahfi 18:43
öNåkâ:|¡øtrBur $Wß$s)÷ƒr& öNèdur ׊qè%â‘ 4 öNßgç6Ïk=s)çRur |N#sŒ ÈûüÏJu‹ø9$# |N#sŒur ÉA$yJÏe±9$# ( Oßgç6ù=x.ur ÔÝÅ¡»t/ ÏmøŠtã#u‘ÏŒ ωŠÏ¹uqø9$$Î/ 4 Èqs9 |M÷èn=©Û$# öNÍköŽn=tã |Mø‹©9uqs9 óOßg÷YÏB #Y‘#tÏù |Mø¤Î=ßJs9ur öNåk÷]ÏB $Y6ôãâ‘ ÇÊÑÈ
Artinya:
18.
Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami
balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan
kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah
kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu
akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
Mengeluarkan
harta untuk perkara wajib seperti
a. membayar mahar (maskawin) seperti
disebut dalam QS Al-Mumtahanah :10
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? ’n<Î) Í‘$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts† £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3ø‹n=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èdu‘qã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«ó™ur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts† öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ
Artinya:
10. Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. menafkahi istri (QS An-Nisa 4:34
c.
Menafkahi
istri yang ditalak dan masih dalam keadaan iddah (QS At-Talaq 65:6-7)
Mengeluarkan
harta dengan tujuan yang diharamkan oleh Allah yaitu:
a.
Infaqnya
orang kafir untuk menghalangi syiar Islam. QS Al-Anfal 8:36
b.
Infaq-nya
orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah. QS An-Nisa' 4:38
Yaitu mengeluarkan harta
dengan niat sadaqah. Infaq tipe ini ada 2 (dua) macam yaitu
a.
infaq
untuk jihad QS Al-Anfal:60.
b.
infaq
kepada yang membutuhkan
c.
Hikmah dari berinfaq
·
Untuk
mengangakat kehidupan orang-orang yang fakir untuk hidup yang layak
·
Supaya
tidak nampak perbedaan yang terlalu mencolok antara si kaya dan si miskin dan
ternyata kemiskinan itu sangat berbahaya, karena agama juga bisa terjual.
·
Kehidupan
dalam masyarakat tanpa ada yang berinfaq yang kaya boros yang miskin hampir
menjual agamanya, akan ada revolusi kelaparan yaitu orang-orang yang miskin
akan berontak, harta bukan hanya keliling kepada orang-orang yang kaya saja.[7]
E. WAKAB
1. Pengertian dan Hukum Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut
istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil
manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang
kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula
diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
a.
Ada beberapa pengertian tentang
wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah
seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
·
Pengertian wakaf menurut mazhab
hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa,
maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta
tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada
manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun
diwariskan.
·
Pengertian wakaf menurut imam
Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf
dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut
kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifahini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia
sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan
definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
·
Pengertian wakaf menurut mazhab
maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta
pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun
sesaat
·
Pengertian wakaf menurut
peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik
dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam
pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap
utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang
tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah,
bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk
masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal
jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma
(sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang
berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda
yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah.
Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ :
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila anak Adam meninggal
dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah
jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang
mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang diwakafkan tidak
boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut
harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum
sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah
mendapatkan sebidang tanah diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan
dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya
dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula
diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
2.
Syarat dan
Rukun Wakaf
a. Syarat Wakaf
Syarat-syarat harta yang
diwakafkan sebagai berikut:
·
Diwakafkan untuk
selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
·
Tunai tanpa menggantungkan pada
suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya
·
wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih
besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
·
Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf)
dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan
(mauquf) itu
b. Rukun Wakaf
1.
Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
·
kehendak sendiri
·
berhak berbuat baik walaupun
non Islam
2.
Sesuatu (harta) yang diwakafkan
(mauquf), syartanya;
·
barang yang dimilki dapat
dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
·
milki sendiri walaupun hanya
sebagian yang diwakafkan ataumusya (bercampur dan tidak
dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
·
Tempat berwakaf (yang berhaka menerima
hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak
syah.
·
Akad, misalnya: “Saya wakafkan
ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu
qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)
3.
Harta yang
Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa
dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta
yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh
pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu,
harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat
untuk orang banyak, misalnya:
a.
Sebidang tanah
b.
Pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c.
Bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam Islam, pemberian semacam
ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya
akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah
meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits
nabi SAW:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ
اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ
وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam
meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu
sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh
yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini
diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan
masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya
hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang
kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang
yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan
Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan
kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
4.
Tata cara
perwakafan tanah milik
a.
Calon wakif dari pihak yang
hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf
b.
Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif
harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas
kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf.
Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk
tertulis atau surat
c.
Calon wakif yang tidak dapat
datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan
persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang
mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang
mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi
d.
Tanah yang diwakafkan baik
sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah yang
diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa Saksi
ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya.
Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah.
5. Surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW sebelum pelaksananaan ikrar wakaf
Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW
surat-surat berikut.
a.
sertifikat hak milik atau
sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)
b.
Surat Keterangan Kepala Desa
yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan
tidak tersangkut suatu perkara dan dapat diwakafka
c.
Izin dari Bupati atau Walikota
c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat
6.
Hak dan
Kewajiban Nadir
Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi
tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf
a.
Hak Nadir
·
Nadir berhak menerima
penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari
10 % ari hasil bersih tanah wakaf
·
Nadir dalam menunaikan tugasnya
dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
b.
Kewajiban Nadir
Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf
dan hasilnya, antara lain:
·
menyimpan dengan baik lembar
kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
·
memelihara dan memanfaatkan
tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
·
menggunakan hasil wakaf sesuai
dengan ikrar wakafnya.
7.
Mengganti
Barang Wakaf
Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat
suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau
dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya
akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali
dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual.
Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti
barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak
tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan,
yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke
tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama
dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang
wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan
tujuan hukumnya.
8.
Pengaturan
Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor
pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf.
Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan.
Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan
secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara
masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu
demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau
denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara
demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula
mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh
yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan
akan lebih kecil.
9. Hikmah Wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
a.
Melaksanakan perintah Allah SWT
untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱرۡڪَعُواْ وَٱسۡجُدُواْ
وَٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمۡ وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّڪُمۡ تُفۡلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77
b. Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk
kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin.
Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:
مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)
Artinya: “Barangsiap
yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia
dari golonganku.” (Al Hadits)
c.
Mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam
bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut
ini.
مَصَالِحِ الْعَامِّ
مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ
Artinya:
“Kemaslahatan umum harus
didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
Adapun manfaat wakaf bagi orang yang menerima atau masyarakat
adalah:
dapat menghilangkan kebodohan
dapat menghilangkan kebodohan
·
dapat menghilangkan atau
mengurangi kemiskinan.
·
dapat menghilangkan atau
mengurangi kesenjangan sosial.
·
dapat memajukan atau
menyejahterakan umat.[8]
F. WASIAT
Kata wasiat berasal dari bahasa
Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu
perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang yang mengucapkan atau menyatakan itu
meninggal dunia.
Para ulama pada umumnya sepakat
bahwa pengertian wasiat ialah : pernyataan atau perkataan seseorang kepada
orang lain bahwa ia memberikan kepada orang lain itu hartanya tertentu atau
membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat sesuatu barang kepunyaan
setelah ia meninggal dunia. Seperti si A berwasiat kepada si B bahwa ia
memberikan B, sehingga B memiliki separuh harta A yang terletak di kota C bila
ia telah meninggal dunia. Setelah A meninggal dunia, B memiliki separuh tanah A
yang terletak dikota C.
Ada beberapa perbedaan antara wasiat
dengan hibah. Pada hibah, pemilikan dari pemberian itu terjadi setelah selesai
pernyataan hibah diucapkan atau dinyatakan oleh yang menghibahkan, sedangkan
pada wasiat pemilikan itu baru terjadi setelah meninggal dunia orang yang
berwasia, bahkan jika orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dari
orang yang berwasiat, maka wasiat itu menjadi batal, kecuali jika ada
perjanjian bahwa ahli waris orang yang menerima wasiat boleh menerima wasiat
itu. hibah hanya berupa pemberian harta hak milik, sedangkan wasiat bentuk
pemberiaannya lebih luas dari itu, boleh berupa garta milik, pembebasan hutang,
manfaat dan sebagainya. Hibah tidak boleh dibatalkan, sedangkan wasiat dapat
dibatalkan bila orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dunia dari
orang yang berwasiat.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad SAW yang menerangkan dan menjadi dasar dari wasiat itu, yang dari
padanya dipahami bahwa wasiat itu merupakan kewajiban moral bagi seseorang
untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya, karena orang itu telah banyak
berjasa kepadanya atau membantu usaha dan kehidupannya, sedang orang itu tidak
termasuk orang atau keluarganya yang memperoleh bagian harta waris. Seakan-akan
wasiat itu merupakan penyempurnaan dari hukum waris yang telah disyariatkan.
Hadist-hadist
yang berhubungan dengan wasiat di antaranya :
a.
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Bahwasanya
Rasullullah SAW. Bersabda : Tidak pantas seorang muslim yang mempunyai suatu
harta yang harus di wasiatkannya membiarkannya dua malam, kecuali wasiatnya itu
telah tertulis. (H.R Bukhari)
b.
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata : (Alangkah baiknya),
andai kata orang mau menurunkan wasiatnya ke seperempat, karena sesungguhnya Rasullullah
bersabda :Sepertiga itu banyak atau besar . (Muttafaqun’alaih).
Berbeda pendapat dengan para ulama
tentang hukum wasiat. Ibnu Hazain berpendapat bahwa wasiat itu wajib dilakukan
oleh seorang yang mempunyai harta banyak atau sedikit. Pendapat ini berasal
dari pendapat Abdullah bin Umar, Thalhah, Zubair,Abdullah bin Aufa, Thawus,
Asy-Sya’bi dan Az-Zuhri. Mereka beralasan dengan arti lahir dari ayat 180 surat
Al-Baqarah di atas. Pada ayat itu terdapat perkataan “kutiba” (diwajibkan).
Karena itu hukum berwasiat itu adalah wajib.
Mazhab yang empat, yaitu Mazhdhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta golongan Zya’ah Zaidiyah berpendapat
bahwa wasiat itu bukan wajib bagi orang yang mempunyai harta banyak atau
sedikit, tetapi hukumnya tidak sama bagi tiap-tiap orang. Hukumnya itu
disesuaikan dengan keadaan orang yang berwasiat dan orang atau yang akan
menerima wasiat.
Menurut mereka wasiat itu wajib
dilakukan oleh setiap orang yang merasa bahwa dalam hartanya itu terdapat hak
orang lain atau hak sesuatu yang lain. Hak orang lain atau sesuatu yang lain
itu dirasakan ada karena ada sesuatu kewajiban yang belum terpenuhi, atau jasa
seseorang yang telah diberikan tanpa pamrih diwaktu berusaha atau dalam usaha
mengatasi hidup dan kehidupannya dan sebagainya. Jika tidak dilakukan wasiat
itu hak orang lain itu akan terlantarkan karena tidak ada jalan lain untuk
memberikannya atau akan dirasakan sebagai hutang yang belum terbayar di dunia
maupun di akhirat. Contohnya ialah zakat yang dirasa belum dibayar, kewajiban
menunaikan ibadah haji yang belum terlaksana pada hal ia adalah orang yang
mampu, amanah atau harta orang lain yang dirasa tercampur dengan harta sendiri,
jasa orang lain yang belum diimbali atau belum sempurna diimbali dan
sebagainya.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa
wasiat itu haram hukumnya bila wasiat itu menimbulkan kemudharatan terhadap
pihak yang lain, seperti memberi kemudharatan kepada ahli waris, berwasiat
lebih seperti tiga dan sebagainya.
Wasiat yang menimbulkan kemudharatan
itu termasuk perbuatan dosa besar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas
RA ,yang artinya :
“Wasiat yang
menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan dosa besar. (HR. An Nisa’i)
Termasuk wasiat yang haram ialah
wasiat yang ada hubunganya dengan perbuatan maksiat, seperti wasiat untuk
membangun rumah ibadah selain rumah ibadah yang sesuai dengan ajaran islam,
wasiat utnk mendirikan pabrik menuman keras, wasiat untuk beternak babi, dan
sebagainya.
Menurut mereka wasiat itu makruh
hukumnya, bila orang yang berwasiat itu mempunyai harta yang sedikit, sedang
ahli warisnya memerlukan harta itu, berwasiat memberikan harta kepada orang
fasik dan ia akan menggunakan harta itu untuk berbuat kefasikan dan sebagainya
Hukum berwasiat itu mubah bagi orang
kaya. Hartanya cukup untuk ahli warisnya dan cukup pula untuk berwasiat kepada
orang lain. Bahkan orang kaya itu sunah hukumnya bila ia berwasiat menggunakan
hartanya untuk menegakan agamanya Allah.
1. Rukun (unsur)
wasiat
Dalam hal
wasiat, ada beberapa unsure yang memenuhinya , diantaranya :
a.
Sighat
wasiat
Dalam hal ini , sighat wasiat
memiliki arti kata-kata atau pernyataan yang di ucapkan oleh orang-orang yang
berwasiat kepada penerima wasiat. Sighat wasiat terdiri dari “ijab” dan
“qabul”. Yang dimaksud ijab ialah perkataan atau pernyataan yang di ucapkan
oleh orang yang berwasiat, sedangkan qabul ialah kata-kata yang di ucapkan oleh
yang menerima wasiat sebagai tanda penerimaan dan persetujuan.
Pemberian wasiat dapat diberikan
kepada seseorang tertentu, tetapi dapat juga diberikan untuk masjid, langgar,
untuk mendirikan sekolah, untuk mendirikan rumah sakit dan sebagainya, serta
ijab dari yang berwasiat tidak memerlukan qabul.
Pemilikan atau pemindahan harta
dapat terjadi ketika orang yang berwasiat meninggal dunia.
2. Orang yang berwasiat
Orang yang berwasiat hendaknya
mempunyai kesanggupan melepaskan hartanya kepada orang lain, baligh, berakal,
menentukan sesuatu atas kehendaknya, sadar terhadap apa yang dilakukannya.
Menurut Imam Hanafi “jika ahli waris tidak menyetujui wasiat itu, maka wasiat
itu tetap dilakukan asalkan tidak melebihi 1/3 hartanya. Tidak boleh melebihi
1/3 hartanya di karenakan orang yang berwasiat tidak boleh meninggalkan ahli
waris yang miskin. Orang yang berwasiat yaitu tentunya adalah orang yang
mempunyai harta lebih.
3. Orang yang menerima wasiat
Selain wasiat, orang yang menerima wasiatpun juga
memiliki sayrat juga, diantaranya:
a.
Ia bukan merupakan ahli waris orang yang berwasiat .
seperti sabda NABI yang artinya “ tidak boleh berwasiat kepada ahli waris “.
b.
Orang yang
menerima wasiat itu orang tertentu, maksutnya orang yang mempunyai arti yang
sebenarnya pada waktu yang di wasiatkan.
c.
Orang yang menerima wasiat tidak
pernah membunuh oraang yang berwasiat kepadanya, kecuali pembunuhan itu di
benarkan oleh ajaran islam.
Abu hanifah
dan muridnya berpendapat bahwa kesahan wasiat itu tergantung pada ahli waris.
Tidak di syaratkan bahwa orang yang berwasiat dan penerima wasiat sama-sama
beragama islam, boleh juga berwasiat kepada berlain agama.
4. Yang diwasiatkan
a.
Harta yang diwasiatkan telah ada setelah orang yang
berwasiat meninggal dunia dan telah dapat dialihmilikkan kepada oaring yng
menerima wasiat, sesuia dengan syarat yang telah di tentukan.
b.
Yang diwasiatkan haruslah harta yang suci, bias di manfaatkan
oleh orang yang menerimanya.
c.
Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari
1/3 harta yang dimilikinya.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hanbal berpendapat bahwa yang di maksud dengan sepertiga disini ialah sepertiga
dari jumlah harta yang dimiliki setelah yang berwasiat meninggal. Sedangkan
Imam Malik berpendapat sepertiga itu ialah sepertiga dari jumlah harta yang
berwasiat waktu ia menyatakan wasiatnya.[9]
Syarat wasiat yang lain yaitu mumayyiz, artinya orang yang berwasiat
itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk serta orang yamng bukan
inkar kepada ALLAH SWT. Syarat ini di kususkan oleh Mazdhab Maliki. Apabila oaring yang menerima
wasiat seperti anak kecil, maka dapat diterima oleh wali atas namanya.[10]
5. Yang membatalkan wasiat
a.
Orang yang berwasiat itu mendapat sakit gila sampai ia
meninggal.
b.
Orang yang menerima wasiat meninggal dulu sebelum
orang yang berwasiat.
c.
Harta yang diwasiatkan itu habis ataupun musnah
sebelum yang berwasiat itu meningal dunia.
6. Wasiat itu di cabut oleh orang yang berwasiat.
Suatu wasiat dapat dicabut oleh
pemberi wasiat tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari yang
berwasiat, seperti :[11]
a.
Yang berwasiat menjual harta yang diwasiatkannya
kepada orang lain.
b.
Yang berwasiat mengalihkan wasiatnya kepada orang
lain.
c.
Yang berwasiat menambah, mengurangi atau menukar harta
yang diwasiatkan.
BAB III PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari
atas dapat kita tarik :
1.
Sadaqah
shadaqah adalah memberikan sesuatu
tanpa ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari Allah Swt.
2.
Hadiah
Hadiah adalah memberikan sesuatu
secara cuma-cuma dengan maksud untuk memuliakan seseorang karena sesuatu
kebaikan yang telah diperbuat. Dengan kata lain, hadiah berfungsi sebagai
imbalan jasa dengan jumlah tidak ditentukan terlebih dahulu antara pemberi dan
penerima.
3.
Hibah
Hibah ialah pemberian harta dari
seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai
kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan
4.
Infaq
Secara lughawi (etimologis) infaq berasal dari akar kata n-f-q نفض yang
berarti membelanjankan harta. Dalam istilah fiqih infaq (infak) adalah mengeluarkan
atau membelanjakan harta yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau
perkara yang dibolehkan. Dari pengertian
di atas, maka menafkahi anak istri termasuk daripada infaq.
5.
Waqab
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut
istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil
manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang
kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula
diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
6. Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa
Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu
perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang yang mengucapkan atau menyatakan itu
meninggal dunia.
B. SARAN
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada kesalahan dan kami sangat mengharap kritik yang membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan bagi kita semua pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rozali643. 2014. Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah.
(Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html, diakses: 8 April 2017.
Wardahcheche. 2014.
Hibah. (Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html, diakses: 8 April 2017).
Sri Ramadan. 2014.
Makalah zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html, diakses 8 April 2017).
Zakiah.Dardjad
Ilmu Fiqh jilid 3. 1995 . Yogyakarta.
Rahman. Penjelasan
Lengkap Hukun-hukum ALLAH(Syariah). 2002. Jakarta
Utara.
[1] Rozali643. 2014. Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah.
(Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html, diakses: 8 April 2017.
[2] Rozali643. 2014.
Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html, diakses: 8 April 2017.
[3] Rozali643. 2014.
Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html, diakses: 8 April 2017.
[4] Rozali643. 2014. Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah.
(Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html, diakses: 8 April 2017.
[5] Wardahcheche. 2014. Hibah.
(Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html, diakses: 8 April 2017).
[6] Wardahcheche. 2014. Hibah.
(Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html, diakses: 8 April 2017).
[7] Sri Ramadan. 2014. Makalah zakat,
infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html, diakses 8 April 2017).
[8] Sri Ramadan. 2014. Makalah zakat,
infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html, diakses 8 April 2017).
0 komentar:
Posting Komentar