HALAMAN JUDUL
KRITISISME DAN
FENOMENOLOGI
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen
Pembimbing : Sulistyowati, M.Pd.I.

Disusun
oleh
Moh. Rudi Taufana
NIM. 1601121087
Rahma Paujiah
NIM. 1601121086
Risqa Aulia
NIM. 1601121085
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
JURUSAN BAHASA
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
TAHUN 1438 H / 2016 M
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang
senantiasa memberikan kemudahan, kelancaran beserta limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya yang tiada terhingga. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.
Alhamdulillah
berkat kehendak dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
yang berjudul “Kritisisme dan Fenomologi”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu mata kuliah Filsafat Ilmu di IAIN Palangka Raya.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penulis dan pembaca. Begitu pula makalah
ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan sarannya yang bersifat membangun.
Palangka Raya, 10 Oktober 2016
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah
fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun
yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai
atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau
hanya pengalaman panca indra kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain..
Menurut hemat penulis, sudah sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai
fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?”(Apa itu?).
Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu
fenomenologi. Pertanyaan inilah yang selalu “terngiang-ngiang” dalam benak
penulis, sehingga mengantarkan kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai
konsep Fenomenologi Edmund Husserl.
Perlu
diketahui bahwa di sini penulis hanya membahas beberapa hal dari kehidupan
Edmund Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam mendalami
pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya.
Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan
sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk
mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan
terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan
ini difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund
Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi
filsafat abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa
struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini
terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi
dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan
diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau setiap karya
yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan fenomenologi.
Secara
material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai
pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada
khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan
energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam
dari ranah filsafat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa itu Kritisisme?
b. Apa itu Fenomologi?
C. TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas penulis dapat menyimpulkan tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui
apa itu kritisisme.
b.
Untuk mengetahui
apa itu fenomologi.
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. KRITISISME
1. PENGERTIAN KRITISISME
Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan
rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik
terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut
berlawanan, Adapun pengertian secara rinci adalah sebagai berikut:
Faham
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui
pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi
salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan
terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa
diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal
sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai
berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada
logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya
adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal:
Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal
(1623-1662).[1]
1) Faham
Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran
belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi,
yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf
Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum
Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui
pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan
2) melalui
kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul
sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak
belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal.
3) Tokoh-tokohnya
adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume
(1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman.
Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap
benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini,
khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.
4) Pelopor
kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi
Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur
(akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan
mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant
jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan
sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan
empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.
5) Filsafat
Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak
murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari
keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi
filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio
secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat
kepada iman kepercayaan.
6) Dengan
filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu
pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari
sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme
mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas
dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh
pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai
dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif
bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.[2]
Dengan
kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor
yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti
seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu
seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua
unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah
cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan
materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia
mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan.
2. SEJARAH KRITISISME
Aliran ini
muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini
disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana
manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan
tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan
penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal.[3]
Sebagai
latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu
pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan.
Disisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya
agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Pada
rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan
pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan
yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan
penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi
kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak
begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa emperisme membawa
karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai kebenaran. Maka Kant
akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan,
apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut
kriticisme.
Akhirnya,
Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan
sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi
adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut
metode kritik.
3. PEMIKIRAN KRITISISME TENTANG ILMU PENGETAHUAN
Kant
membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut:
a. Yang analitis a priori
b. Yang sintetis a priori
c. Yang analitis a posteriori
d. Yang sintetis a posteriori[4]
Pengetahuan
a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau,
yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai
akibat pengalaman. Pengetahuan yang analitis merupakan hasil analisa dan
pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang
biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang
dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis
a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya
sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Misal, 7 – 2 =
5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori
diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan
filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu
pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri
dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat
umum dan bersifat perlu mutlak dan memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud
mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita. Kant yang
mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh
adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke
tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi
(Vernunft).
Immanuel
Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada
landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak
sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah
kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih
di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas
karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air malah
akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya
dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah
terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau
kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh
karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak
absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang
mengikuti perkembangan zaman yang terus maju.[5]
B. FENOMENOLOGI
1. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan
fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala
Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya
dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Lahirnya aliran
psikologi Fenomenologi sangat
dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang
terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Bagi seorang fenomenolog, kisah
seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun
aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang
tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa
juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan
Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak
hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau
bahkan kesadaran hidup.[6]
Pendekatan fenomenologis
memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan
dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai
kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian
fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi. Pendekatan fenomenologis
meliputi yaitu :
1) Pengamatan , yaitu
suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar
rangsang-rangsang dari obyek.
2) Imajinasi , yaitu
suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama sekali
tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan dirinya
sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia imajinasi
berdasa aktivitas suatu kesadaran.
3) Berpikir secara
abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah pikiran
abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan pengamataan
; tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan. Dengan
menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri umum, yaitu
suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.
4)
Merasa/menghayati. Merasa ialah gejala lain dari
kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari dengan langsung, sedangkan
perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang lebih dekat pada diri
manusia daripada pengamatan atau imajinasi.
Seperti yang
telah disebutkan di awal, bahwa sebagai sebuah aliran, fenomenologi diartikan
sebagai: yang menampakkan dirinya di dalam dirinya sendiri menurut adanya. Dengan demikian, fenomenologi adalah
merupakan refleksi mengenai pengalaman langsung dari setiap tindakan secara
intensif, yang berhubungan obyek. Tidak cukup sampai di situ, fenomenologi ini
juga menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah untuk melakukan kajian
ataupun penelitian, karena akan menjadikan hasil kajian atau penelitian menjadi
artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang
menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain. Dan
justeru karena ini pula, Penulis sangat setuju dengan aliran fenomenologi yang
berusaha memberikan kesempatan suatu obyek untuk “berbicara sendiri”.
Alasan
lainnya adalah bahwa, fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir
di abad modern ini. Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan
fenomenologi ini untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi,
realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri
mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi
yang tepat dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir.[7]
Apa yang
dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya dengan
studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh gambaran
yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan
manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta struktur
fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transendental dan
inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif.
Kaitannya
dengan fenomenologi agama Scheler, Penulis berpendapat bahwa pendekatan
fenomenologi hendaknya berusaha mengembalikan studi agama secara adil dalam
menatap dan memahami kompleksitas keberagamaan manusia. Hal ini dikarenakan
pendekatan fenomenologi bersifat value-laden, yakni terikat oleh
nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikut agama
yang ada.
Menurut
hemat Penulis, pada umumnya pengetahuan keagamaan bersumber dari sabda,
karya dan perjuangan, serta kewibawaan sang pendiri atau para pendiri agama
tersebut dihadapan Allah sebagai diakui dan diterima dengan ikhlas, bahkan pada
tingkat percaya dan yakin, oleh umat pemeluk agama itu. Rumusan umum ini
pastilah harus diberi kualifikasi yang lebih tepat dalam konteks agama
tertentu; namun ada beberapa hal yang harus dicatat atau garis bawahi.
Pertama, diandaikan kehadiran Allah sebagai
Sang Penjamin dan Sang Pembenar setiap sabda, karya perjuangan sang pendiri
atau para pendiri agama tersebut. Dalam persepsi umat agama itu Allah
pastilah “aktor intelektual” dibalik setiap sabda dan karya itu, karena Allah
memang memiliki rencana atau kehendak tertentu kepada umat-Nya. Fakta itu
harus dihormati. Namun dalam paradigma ilmu sebagai hasil usaha ilmiah
(yang rasional yang bersifat logis, sistematis dan efisien menuju kepada
kebenaran ilmiah), Allah dapat saja dimasukkan dalam katagori obyek studi atau
obyek yang harus dikenali dalam usaha rasional untuk memperkaya (yaitu
mengembangkan, meneguhkan dan memurnikan) khazanah pengetahuan keagamaan agama
yang bersangkutan. Dalam konteks ini juga harus diterima bahwa ada
lembaga “fatwa” dengan “kuasa untuk mengajar” dalam lingkungan agama
tersebut. Dapat saja hasil usaha rasional ilmuwan pengetahuan itu konflik
dengan “fatwa” pada saat itu; jika itu terjadi ... tidak banyak yang dapat
dikatakan. Mengenai kejujuran ilmiah dan ketulusan hati, hanya Allah yang maha
tahu. Mengaca dari sejarah, ternyata ada ilmuwan yang memang lahir dan
hidup seakan mendahului jamannya.[8]
Kedua, harus diterima juga bahwa ada
unsur-unsur (misalnya “peristiwa”, yaitu yang melibatkan unsur tempat dan waktu
di masa lalu) dalam obyek yang dikenali (sekurang-kurangnya sekarang ini)
bersifat supranatural. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad (dalam tradisi
Islam) dan peristiwa kebangkitan Yesus dari mati (dalam tradisi Kristiani)
pantas dimasukkan dalam katagori itu. Historisitasnya dapat saja dikaji secara
ilmiah, demikian juga kepastiannya. Namun dalam hal ini jangan berharap
memperoleh kebenaran ontologis melalui refleksi rasional, sekarang atau di masa
depan, karena kebenaran logis pada akhirnya hanya berasal dalam kewibawaan
dokumen (termasuk juga kewibawaan Pemberi Dokumen).
2. RELEVANSI
Pada
milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara
langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang
“masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media
masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru
saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat
fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini.
Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi,
antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang
Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan
ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidak puasan dari
manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut
hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena
alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk
diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di
TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais
sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada
fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita
melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi
sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di
TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.[9]
Dalam
tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam
melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu
bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali
kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan
obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan
menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu
referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini.
Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari
dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan
dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran
kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam
memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
3. RIWAYAT HIDUP EDMUND GUSTAV AIBERCHT HUSSERL
Fenomenologi
sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini,
pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht
Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8
April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu
falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin
dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di
Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916
dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris,
dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan
olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan
lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan
warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke
Universitas Leuven di Belgia. [10]
BAB III PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai
penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih
jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana
semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada
benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar manusia
untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan
bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada manusia. Namun sesungguhnya
usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada
realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran manusia. Apa yang tampil
kepada manusia itulah yang disebut fenomena.
Kritisisme
Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian
keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu.
Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan
kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak
dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar
nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai
kebenaran. Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya
bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus
rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Fenomenologi
secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana
fenomena muncul pada manusia. Karena kesadaran
semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan
fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan
filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi
lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl
kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty.
Fenomenologi mengatakan bahwa manusia harus memperkenalkan gejala-gejala dengan
menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen,
konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan
“hakekat” ini berbicara kepada manusia bahwa manusia membuka diri untuknya.
Manusia harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala
sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin diselidiki
manusia, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi manusia.
Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk
epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.
B. SARAN
Makalah ini tentu tidak lepas dari kekurangan dan
kelebihan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa potensi manusia tidaklah
sama. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
kami dapat memperbaikinya kembali pada tugas-tugas makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),(http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah
fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
Islahudin , Erwan. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[1] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[2]
Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[3]
Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[4]
Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[5]
Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[6]
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online), (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
[7]
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online), (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
[8]
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online), (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
[9]
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online), (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
[10]
Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online), (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).
0 komentar:
Posting Komentar