Minggu, 26 Februari 2017

makalah kritisisme dan fenomologi



HALAMAN JUDUL


KRITISISME DAN FENOMENOLOGI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

       Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Pembimbing : Sulistyowati, M.Pd.I.

images (1).jpg
Disusun oleh
Moh. Rudi Taufana
                                                               NIM. 1601121087

Rahma Paujiah
NIM. 1601121086

Risqa Aulia
NIM. 1601121085


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN BAHASA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
TAHUN 1438 H / 2016 M

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan, kelancaran beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.
Alhamdulillah berkat kehendak dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Kritisisme dan Fenomologi”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu mata kuliah Filsafat Ilmu di IAIN Palangka Raya.        
 Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penulis dan pembaca. Begitu pula makalah ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun.





Palangka Raya, 10 Oktober 2016

Penulis





BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG


Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau hanya pengalaman panca indra kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain.. Menurut hemat penulis, sudah sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?”(Apa itu?). Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi. Pertanyaan inilah yang selalu “terngiang-ngiang” dalam benak penulis, sehingga mengantarkan kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai konsep Fenomenologi Edmund Husserl.
Perlu diketahui bahwa di sini penulis hanya membahas beberapa hal dari kehidupan Edmund Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan fenomenologi.
Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam dari ranah filsafat.


B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Apa itu Kritisisme?
b.      Apa itu Fenomologi?

C.    TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas penulis dapat menyimpulkan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui apa itu kritisisme.
b.      Untuk mengetahui apa itu fenomologi.

BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN


A.    KRITISISME


1.   PENGERTIAN KRITISISME

Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut berlawanan, Adapun pengertian secara rinci adalah sebagai berikut:
Faham Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).[1]
1)      Faham Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan
2)      melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal.
3)      Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.
4)      Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.
5)      Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.
6)      Dengan filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.[2]
Dengan kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.


2.   SEJARAH KRITISISME

Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal.[3]
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut metode kritik.


3.    PEMIKIRAN KRITISISME TENTANG ILMU PENGETAHUAN

Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut:
a.    Yang analitis a priori
b.    Yang sintetis a priori
c.    Yang analitis a posteriori
d.   Yang sintetis a posteriori[4]
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan yang analitis merupakan hasil analisa dan pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan  memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita. Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).
Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju.[5]

B.     FENOMENOLOGI


1.    PENGERTIAN FENOMENOLOGI

Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Lahirnya aliran psikologi Fenomenologi sangat dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.[6]
Pendekatan fenomenologis memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi. Pendekatan fenomenologis meliputi yaitu :
1)      Pengamatan , yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar rangsang-rangsang dari obyek.
2)      Imajinasi , yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia imajinasi berdasa aktivitas suatu kesadaran.
3)      Berpikir secara abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah pikiran abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan pengamataan ; tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan. Dengan menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri umum, yaitu suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.
4)      Merasa/menghayati. Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang lebih dekat pada diri manusia daripada pengamatan atau imajinasi.
Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa sebagai sebuah aliran, fenomenologi diartikan sebagai: yang menampakkan dirinya di dalam dirinya sendiri menurut adanya. Dengan demikian, fenomenologi adalah merupakan refleksi mengenai pengalaman langsung dari setiap tindakan secara intensif, yang berhubungan obyek. Tidak cukup sampai di situ, fenomenologi ini juga menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah untuk melakukan kajian ataupun penelitian, karena akan menjadikan hasil kajian atau penelitian menjadi artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain. Dan justeru karena ini pula, Penulis sangat setuju dengan aliran fenomenologi yang berusaha memberikan kesempatan suatu obyek untuk “berbicara sendiri”.  
Alasan lainnya adalah bahwa, fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir di abad modern ini. Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi yang tepat dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir.[7]
Apa yang dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transendental dan inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif.
Kaitannya dengan fenomenologi agama Scheler, Penulis berpendapat bahwa pendekatan fenomenologi hendaknya berusaha mengembalikan studi agama secara adil dalam menatap dan memahami kompleksitas keberagamaan manusia. Hal ini dikarenakan pendekatan fenomenologi bersifat value-laden, yakni terikat oleh nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikut agama yang ada.
Menurut hemat Penulis, pada umumnya pengetahuan keagamaan bersumber dari sabda, karya dan perjuangan, serta kewibawaan sang pendiri atau para pendiri agama tersebut dihadapan Allah sebagai diakui dan diterima dengan ikhlas, bahkan pada tingkat percaya dan yakin, oleh umat pemeluk agama itu.  Rumusan umum ini  pastilah harus diberi kualifikasi yang lebih tepat dalam konteks agama tertentu; namun ada beberapa hal yang harus dicatat atau garis bawahi. 
Pertama, diandaikan kehadiran Allah sebagai Sang Penjamin dan Sang Pembenar setiap sabda, karya perjuangan sang pendiri atau para pendiri agama tersebut.  Dalam persepsi umat agama itu Allah pastilah “aktor intelektual” dibalik setiap sabda dan karya itu, karena Allah memang memiliki rencana atau kehendak tertentu kepada umat-Nya. Fakta itu harus dihormati. Namun dalam paradigma ilmu sebagai hasil usaha ilmiah (yang rasional yang bersifat logis, sistematis dan efisien menuju kepada kebenaran ilmiah), Allah dapat saja dimasukkan dalam katagori obyek studi atau obyek yang harus dikenali dalam usaha rasional untuk memperkaya (yaitu mengembangkan, meneguhkan dan memurnikan) khazanah pengetahuan keagamaan agama yang bersangkutan.  Dalam konteks ini juga harus diterima bahwa ada lembaga “fatwa” dengan “kuasa untuk mengajar” dalam lingkungan agama tersebut.  Dapat saja hasil usaha rasional ilmuwan pengetahuan itu konflik dengan “fatwa” pada saat itu; jika itu terjadi ... tidak banyak yang dapat dikatakan. Mengenai kejujuran ilmiah dan ketulusan hati, hanya Allah yang maha tahu.  Mengaca dari sejarah, ternyata ada ilmuwan yang memang lahir dan hidup seakan mendahului jamannya.[8]
Kedua, harus diterima juga bahwa ada unsur-unsur (misalnya “peristiwa”, yaitu yang melibatkan unsur tempat dan waktu di masa lalu) dalam obyek yang dikenali (sekurang-kurangnya sekarang ini)  bersifat supranatural. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad (dalam tradisi Islam) dan peristiwa kebangkitan Yesus dari mati (dalam tradisi Kristiani) pantas dimasukkan dalam katagori itu. Historisitasnya dapat saja dikaji secara ilmiah, demikian juga kepastiannya.  Namun dalam hal ini jangan berharap memperoleh kebenaran ontologis melalui refleksi rasional, sekarang atau di masa depan, karena kebenaran logis pada akhirnya hanya berasal dalam kewibawaan dokumen  (termasuk juga kewibawaan Pemberi Dokumen).

2.    RELEVANSI

Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidak puasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.[9]
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

3.    RIWAYAT HIDUP EDMUND GUSTAV AIBERCHT HUSSERL

Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia. [10]










BAB III PENUTUP

PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar manusia untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada manusia. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran manusia. Apa yang tampil kepada manusia itulah yang disebut fenomena.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran. Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada manusia. Karena kesadaran  semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa manusia harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada manusia bahwa manusia membuka diri untuknya. Manusia harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin diselidiki manusia, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi manusia. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.


B.     SARAN

Makalah ini tentu tidak lepas dari kekurangan dan kelebihan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa potensi manusia tidaklah sama. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat memperbaikinya kembali pada tugas-tugas makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA



Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),(http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).


Islahudin , Erwan. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).


 



[1] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).

[2] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).
[3] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).


[4] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).


[5] Erwan Islahudin. 2015. Kritisme. (Online),(https://erwanislahudin.blogspot.com/2015/Kritisisme. diakses: 4 Desember 2016).


[6] Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),  (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).

[7] Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),  (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).


[8] Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),  (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).


[9] Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),  (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).


[10] Afriarengki.2013. Makalah Fenomologi. (Online),  (http://afriarengki.blogspot.co.id/2013/02/makalah-fenomenologi.html. diakses: 06 Desember 2016).


0 komentar:

Posting Komentar