A.
Penistaan agama dalam nilai ketuhanan
Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah sila pertama dalam Pancasila. Sebelumnya bunyi sila
pertama adalah "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" yang kemudian, dengan berbagai alasan, dihapuskan lalu
diubah dengan kalimat "Yang Maha Esa" sebagaimana yang sekarang kita
kenal sebagai Sila pertama Pancasila.Sila pertama ini kemudian ditegaskan
kembali dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 yang berbunyi "Negara
berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa."
Sesungguhnya sudah dapat dibayangkan
apa maksud sila Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi masih saja ada
kalangan-kalangan, terutama liberal, yang membuat tafsiran-tafsiran aneh
terkait sila pertama ini, seperti mengatakan Indonesia negara sekuler
atau yang dimaksud Ketuhanan yang Maha Esa adalah "Ketuhanan yang
berbudaya" dan tafsir-tafsir rancu lainnya. Kalau mau
jujur, apa yang kalangan liberal lakukan itu tidaklah dalam rangka memahami
Pancasila dengan benar, melainkan adalah upaya melakukan penyesatan sistematis,
agar bagaimana caranya sesuai dengan agenda dan kepentingan mereka.
Bila
dijabarkan lebih lanjut, sila Ketuhanan yang Maha Esa memberikan konsep turunan
mengenai tentang dasar fondasi dibangunnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Padmo Wahyono menyebutkan bahwa dalam Pancasila, negara tidak terbentuk hanya
karena konsensus tiap individu yang merdeka belaka, sebagaimana pandangan
liberal, melainkan "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,..."
Sila pertama
Pancasila ini memperjelas hubungan antara agama dan negara yang dianut
Indonesia yang mana secara jelas menafikan klaim bahwa Indonesia negara
sekular. Negara sekular adalah konsep kenegaraan yang menghendaki negara untuk
tidak memberikan peran kepada agama pada ranah publik kenegaraan. Negara
Sekular dibangun diatas pemikiran sekularisme, yang menekankan pada
epistemologi dualisme dan dikotomi atau pemisahan terhadap "agama dan
sains, jiwa dan raga, obyektif dan subyektif, rasional dan empiris seperti dua
kutub yang tak pernah bersatu."
Argumentasi
yang digunakan oleh pendukung negara sekular terkadang disusun
"seolah-olah" demi kepentingan agama. Mereka berargumen bahwa agama
adalah hal yang tinggi, suci, luhur lagi sakral, karena kesucian dan
keluhurannya mereka menolak bila agama ditarik dalam urusan politik yang profan
dan kotor. Argumen ini pernah digunakan oleh Soewirjo, yang pernah menjabat
sebagai ketua umum PNI, dalam perdebatan di Majelis Konstituante.
Justru argumentasi tersebut patah lewat
pernyataan kalau agama itu suci dan luhur, kalau benar begitu seharusnya agama
wajib jadi pegangan bernegara dan berpolitik, kalau seandainya menginginkan
politik itu bersih, bukan pasrah dengan kondisi politik yang kotor, sehingga
kita seterusnya berkotor ria dalam kubangan lumpur politik, tanpa mau
membersihkan diri. Membersihkan kotoran hanya bisa dilakukan dengan sapu yang
bersih, begitu juga politik, mau politik bersih, jadikan agama sebagai pegangan.
karena itu, agama tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan dari negara.
Oemar Senoadji mengatakan bahwa ciri
negara hukum Indonesia adalah tidak ada pemisahan yang jelas atau rigid antara
hubungan agama dan negara, bahkan memiliki hubungan yang harmonis satu sama
lainnya. Akan tetapi, pandangan ini menurut Tahir Azhary,
menimbulkan kesan bahwa seolah ada kemungkinan pemisahan antara agama dan
negara pada konsep negara hukum Pancasila. Justru, menurut Tahir Azhary, tidak
boleh ada dalam konsep negara hukum Pancasila pemisahan antara agama dan
negara, baik mutlak ataupun nisbi, karena segala bentuk pemisahan antara agama
dan negara adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. [1]
B.
Penistaan agama dalam nilai kemanusiaan
Kemanusiaan berasal dari kata manusia,
yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta.
Kemanusiaan terutama berarti sifat manusia yang merupakan esensi dan identitas
manusia karena martabat kemanusiaannya (human dignity) Adil terutama mengandung
arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang
objektif; jadi, tidak subjektif apalagi sewenang-wenang.
Beradab berasal dari kata adab yang
berarti budaya. Jadi, beradab berarti berbudaya. Ini mengandung arti bahwa
sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan nila-nilai budaya,
terutama norma sosial dan kesusilaan (moral). Adab terutama mengandung pengertian
tata kesopanan, kesusilaan atau moral. Dengan demikian, bearadab dapat ditafsirkan
sebagai berdasar nilai-nilai kesusilaan atau moralitas khususnya dan kebudayaan
umumnya.
Jadi, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan
umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesama manusia, maupun terhadap alam dan
hewan Pada prinsipnya Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah sikap dan
perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar
nilai, dan berbudaya.
Sila ke-2 “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” didasari dan dijiwai oleh sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta
mendasari dan menjiwai sila ke-3, ke-4 dan ke-5. Nilai-nilai sila “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab” adalah sebagai dasar dalam kehidupan kenegaraan,
kebangsaan dan kemasyarakatan Di dalam sila ke II Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab telah tersimpul cita-cita kemanusiaan yang lengkap, yang memenuhi
seluruh hakikat mahkluk manusia.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
adalah suatu rumusan sifat keluhuran budi manusia (Indonesia). Dengan
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, maka setiap warga Negara mempunyai kedudukan
yang sederajat dan sama terhadap Undang-Undang Negara, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama; setiap warga Negara dijamin haknya serta kebebasannya yang
menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan orang-orang seorang, dengan Negara,
dengan masyarakat, dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan
mencapai kehidupan yang layak sesuai dengan hak asasi manusia
Hakikat pengertian di atas sesuai
dengan :
1.
Pembukaan UUD 1945 alinea pertama : “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan .”
2.
Pasal 27, 28,
29,30,dan 31 UUD 1945.
3.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan
Pengamalan Pancasila, memberikan
petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan sila ” Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab”. Menurut perumusan Dewan Perancang Nasional, perikemanusiaan adalah
daya serta karya budi dan hati nurani manusia untuk membangun dan membentuk
kesatuan diantara manusia sesamanya, tidak terbatas pada manusia-sesamanya yang
terdekat saja, melainkan juga seluruh umat manusia. Sedangkan menurut Bung
Karno, istilah perikemanusiaan adalah hasil dari pertumbuhan rohani,
kebudayaan, hasil pertumbuhan dari alam tingkat rena ke taraf yang lebih
tinggi.
Pokok pikiran dari sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab :
1.
Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk
Tuhan.
Maksudnya, kemanusiaan itu universal
2.
Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Menghargai hak setiap
warga dan menolak rasialisme.
3. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
Hakikat manusia memiliki unsur-unsur yang diantaranya adalah
susunan kodrat manusia (yang terdiri atas raga dan jiwa), sifat kodrat manusia
(yang terdiri atas makhluk sosial dan individu), kedudukan kodrat manusia (yang
terdiri atas makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan). Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab adalah kemanusiaan sejati yang menghormati serta mengembangkan
kemerdekaan, martabat dan hak sesama manusia, memperlakukannya secara adil dan
beradab. Ikut berusaha mencerdaskan masyarakat agar masing-masin warga yang
berusaha secara halal dapat hidup layak sebagai manusia dan mengembangkan
pribadinya. Unsur kemanusiaan yang hakiki dalam keadilan sosial dalam suatu
masyarakat dan Negara. Yang diatur menurut hukum yang adil dan bermoral (Ketuhanan)
sehingga keadilan dapat diperoleh dengan mudah dan cepat oleh semua tanpa
diskriminasi apapun. Sikap seperti itu diperluas terhadap semua orang dari
segala bangsa.[2]
C.
Penistaan agama dalam nilai persatuan
Sila Persatuan Indonesia
terdiri dari dua kata yang penting yaitu persatuan dan Indonesia. Persatuan berasal
dari kata satu, yang berarti utuh, tidak pecah-belah. Sedangkan persatuan
mengandung pengertian disatukannya berbagai macam corak yang beraneka ragam
menjadi satu kesatuan. Keanekaragaman masyat:akat Indonesia diharapkan dapat
diserasikan menjadi satu dan utuh, tidak bertentangan antara yang satu dengan
yang lain. Indonesia dapat diartikan secara geografis, atau dapat
dilihat sebagai bangsa. Indonesia dalam pengertian geografis adalah bagian bumi
yang membentang dari 95 – 141 derajat Bujur Timm- dan 6 derajat Lintang Utara
sampai dengan 11 derajat Lintang Selatan. Sedangkan Indonesia dalam pengertian
bangsa adalah suatu bangsa yang secara politis hidup dalam wilayah tersebut.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa persatuan Indonesia mengandung arti persatuan bangsa
yang mendiami wilayah Indonesia. Persatuan yang didorong untuk mencapai
kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan
Indonesia mengandung arti kebangsaan (nasionalisme), yaitu bangsa Indonesia
harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga negara, tanpa
membeda-bedakan suku atau golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan
satu cita-cita bersama. Kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sempit,
yang hanya mengagungkan bangsanya sendiri dan merendahkan bangsa lain, tetapi
kebangsaan yang menuju persaudaraaan dunia, yang menghendaki bangsa-bangsa
saling menghormati dan saling menghargai.
Dengan demikian, secara lebih rinci sila
Persatuan Indonesia mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1. Dapat menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di
atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara.
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan
bangsa.
4. Mengembangkan rasa
kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan
berdasar Bhineka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa.
Negara Indonesia bersatu
mempunyai makna kesatuan, maka bangsa Indonesia merupakan satu Negara dan
tidak terpecah didalam Negara – Negara yang berfederasi. Sebagaimana diketahui
kesatuan kebangsaan merupakan dasar sendi Negara, baik di dalam Negara
sendiri maupun terhadap dunia Internasional.
Dalam hakikatnya sifat
kesatuan kebangsaan dan wilayah Negara kita pada saat proklamasi menjadi sifat
mutlak, yang selanjutnya dalam kenyataannya harus selalu diamalkan. Mengapa
demikian, tiada lain karena susunan wilayah Indonesia atas kepulauan yang
sangat besar jumlah dan luasnya, dan arena susunan bangsa kita atas suku
– suku bangsa, meskipun mempunyai dasar corak yang sama, beraneka warna bentuk
sifat susunan keluarga dan masyarakat, adat istiadatnya, kesusilaannya,
kebudayaannya, hokum adatnya dan tingkah hidupnya. Keadaan yang telah demikian
itu ditambah dengan terdapatnya golongan bangsa keturunan asing dan kemungkinan
kewarganegaraan orang asing tulen. Diantara warga golongan bangsa ini terdapat perbedaan
yang lebih besar daripada yang ada pada golongan bangsa Indonesia yang asli.
Selain daripada itu masih ada perbedaan pula antara mereka dengan golongan
bangsa Indonesia yang asli. Kalau masih ditambahkan lagi terdapatnya berbagai
agama dan kepercayaan hidup ditanah air kita, maka makin menjadi besar
perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ditambah lagi sumber perbedaan yaitu ideology – ideologi politik yang
setelah proklamasi kemerdekaan kita ternyata menjadi meluap melampaui batas
kelayakan bagi persatuan dan kesatuan.
Bentuk – bentuk pokok
pelaksanaan daripada sila persatuan Indonesia itu telah ditentukan pada
proklamasi kemerdekaan kita di dalam Undang – Undang Dasar 1945, yaitu dalam
pasal 26 tentang warga Negara, dalam pasal 31 tentang pengajaran nasional,
dalam pasal 32 tentang kebudayaan Nasional, dalam pasal 35 tentang bendera
Negara dan dalam pasal 36 yang menetapkan bahwa bahasa Negara adalah
bahasa Indonesia. Wilayah Negara yaitu lambang Negara “Bhineka Tunggal Ika”
yang merupakan suatu keseimbangan suatu harmoni.
Adanya unsur – unsur
perbedaan di dalam suatu lingkungan bangsa disamping menimbulkan daya penarik
kearah kerjasama dan kesatuan, menimbulkan juga suasana dan kekuatan tolak
menolak, tentang – menentang yang mungkin mengakibatkan perselisihan,
pertikaian, dan perpecahan akan tetapi mungkin pula apabila dipenuhi syarat –
syarat kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai – nilai hidup yang sewajarnya,
menyatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa yang justru akan memperkaya
masyarakat dan memungkinkan timbulnya persatuan dan kesatuan.
Dalam hal perbedaan di
lingkungan bangsa haruslah ada kesediaan untuk tidak membiarkan atau untuk
tidak memelihara dan membesar – besarkan perbedaan dengan berpegang teguh pada
golongan – golongan bangsa, suku – suku bangsa dan keadaan hidupnya yang
bermacam - macam. Akan tetapi seharusnya ada kesediaan dan kecakapan serta
usaha dengan kebijaksanaan untuk melaksanakan pertalian kesatuan bangsa, dengan
berpegangan kepada berbagai asas pedoman bagi pengertian kebangsaan sebagaimana
disusun oleh para ahli kenegaraan, diambil kesemuanya dalam suatu susunan
majemuk – tunggal untuk menyatukan daerah (geopolitis), menyatukan darah,
membangkitkan, memelihara, dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan
memiliki satu sejarah dan senasib, satu kebudayaan di dalam lingkungan hidup
bersama dalam satu negara yang sama – sama diselenggarakan dan dikembangkan..
Demikianlah didalam
“Persatuan Indonesia terkandung kesadaran akan adanya perbedaan –
perbedaan sebagai keadaan yang biasa di dalam masyarakat dan bangsa, untuk
menghidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan
kesatuan dalam suatu resultan, dalam suatu sintesa, dan untuk mengusahakan
peniadaan serta pengurangan perbedaan.
Sifat mutlak kesatuan
bangsa, wilayah dan negara Indonesia yang terkandung dalam sila Persatuan
indonesia, dengan segala perbedaan dan pertentangan didalamnya, memenuhi sifat
hakekat daripada satu, yaitu mutlak tidak dapat terbagi. Segala perbedaan dan
pertentangan adalah hal yang biasa, yang justru pasti akan dapat disalurkan
untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan kebangsaan.
Sila ketiga pancasila yaitu Persatuan Indonesia
yang merupakan dasar filsafat negara kita, telah diketahui bahwa biarpun
didalam susunannya rakyat dan tanah air tumpah darah kita terdiri atas bagian –
bagian yang mengandung unsur – unsur perbedaan dan pertentangan, namun bagian –
bagiannya itu hanya dalam hubungan kesatuan sebagai bangsa dan wilayah negara
sehingga dapat memperoleh bentuk sifat penjelmaan dirinya yang selengkap –
lengkapnya. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa dan wilayah negara
kita sesuai dengan yang disebut hakekat satu, dan oleh karena itu kesatuan
sifatnya mutlak tidak dapat terbagi dan terpisah dari bangsa dan wilayah negara
– negara lain atas dasar kesatuan rakyat Indonesia dengan tanah air tumpah
darahnya yang merupakan satu – satunya pokok dasar bagi terwujudnya kepribadian
bangsa Indonesia.
Makna persatuan
hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat tidak terpecah. Jika persatuan
Indonesia dikaitkan dengan pengertian modern sekarang ini, maka disebut
nasionalisme. Nasionalisme adalah perasaan satu sebagai suatu bangsa, satu
dengan seluruh warga yang ada dalam masyarakat. Oleh Karena rasa satu yang
begitu kuatnya, maka dari padanya timbul rasa cinta bangsa dan tanah air. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa rasa cinta bangsa dan tanah air yang kita miliki
di Indonesia bukan yang menjurus kepada chauvinisme, yaitu rasa yang
mengagungkan bangsa sendiri, dengan merendahkan bangsa lain. Jika hal ini
terjadi, maka bertentangan dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab. Walaupun ditulis cinta bangsa dan tanah air, tidak dimaksudkan untuk
chauvimisme. Dengan demikian jelaslah bahwa konsekuensi lebih lanjut dari kedua
hal tadi adalah menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, yang pada akhir –
akhir ini justru menunjukkan gejala disintegrasi bangsa. Hal ini sejalan dengan
pengertian persatuan dan kesatuan.
Oleh karena itu hal –
hal yang sifatnya tidak sejalan dengan persatuan dan kesatuan, misalnya
penonjolan kekuasaan, penonjolan keturunan, harus diusahakan agar tidak
terwujud sebagai suatu prinsip dalam masyarakat Indonesia. Perlu diketahui
bahwa ikatan kekeluargaan, kebersamaan di Indonesia sejak dulu sampai sekarang
lebih di hormati daripada kepentingan pribad. Namun, tentunya semangat ini bagi
bangsa Indonesia mengalami dinamikanya sendiri. Kadang menjadi kuat, tapi pada
suatu saat akan melemah. Pada saat ini justru nasionalisme bangsa Indonesia,
ditantang dan dalam kondisi yang agak rapuh, karena banyak dari elemen bangsa
yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan daripada kepentingan
bangsa dan negara. Misalnya, fenomena disintegrasi, unculnya gejala primor-dialisme
dan separatisme.[3]
D.
Penistaan agama dalam nilai kerakyatan
Sila ke-empat yang mana berbunyi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Sebuah kalimat yang secara bahasa membahasakan
bahwa Pancasila pada sila ke 4 adalah penjelasan Negara demokrasi. Dengan
analisis ini diharapkan akan diperoleh makna yang akurat dan mempunyai nilai
filosofis yang diimplementasikan secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak hanya itu, secara lahiriyah sila ini menjadi banyak acuan dari setiap
langkah pemerintah dalam menjalankan setiap tindakan pemerintah.
Kaitannya dengan arti dan makna sila
ke 4 adalah sistem demokrasi itu sendiri. Maksudnya adalah bagaimana konsep
demokrasi yang bercerita bahwasannya, setiap apapun langkah yang diambil
pemerintah harus ada kaitannya atau unsur dari, oleh dan untuk rakyat. Disini,
rakyat menjadi unsur utama dalam demokrasi. Itulah yang seharusnya terangkat ke
permukaan sehingga menjadi realita yang membangun bangsa.
Dibawah ini adalah arti dan makna
Sila ke 4 yang dibahas sebagai berikut :
1.
Hakikat sila ini adalah demokrasi.
Demokrasi dalam arti umum yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Secara sederhana, demokrasi yang dimaksud adalah melibatkan
segenap bangsa dalam pemerintahan baik yang tergabung dalam pemerintahan dan
kemudian adalah peran rakyat yang diutamakan.
2.
Pemusyawaratan. Artinya mengusahakan
putusan secara bulat, dan sesudah itu diadakan tindakan bersama. Disini terjadi
simpul yang penting yaitu mengusahakan keputusan secara bulat. Bulat yang
dimaksud adalah hasil yang mufakat, artinya keputusan itu diambil dengan
kesepakatan bersama. Dengan demikian berarti bahwa penentu demokrasi yang
berdasarkan pancasila adalah kebulatan mufakat sebagai hasil kebikjasanaan.
Oleh karena itu kita ingin memperoleh hasil yang sebaik-baiknya didalam
kehidupan bermasyarakat, maka hasil kebikjasanaan itu harus merupakan suatu
nilai yang ditempatkan lebih dahulu.
3. Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran
bersama. Dalam hal ini perlu diingat bahwa keputusan bersama dilakukan secara
bulat sehingga membawa konsekuensi adanya kejujuran bersama. Perbedaan secara
umum demokrasi di barat dan di Indonesia yaitu terletak pada permusyawaratan.
Permusyawaratan diusahakan agar dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang
diambil secara bulat.
Hal ini tidak menjadi kebiasaan
bangsa Indonesia, bagi kita apabila pengambilan keputusan secara bulat itu
tidak bisa tercapai dengan mudah, baru diadakan pemungutan suara. Kebijaksanaan
ini merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi
kepentingan rakyat banyak. Jika demokrasi diartikan sebagai kekuatan, maka dari
pengamatan sejarah bahwa kekuatan itu memang di Indonesia berada pada tangan rakyat
atau masyarakat. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda saja, di desa-desa
kekuasaan ditentukan oleh kebulatan kepentingan rakyat, misalnya pemilihan
kepala desa. Musyawarah yang ada di desa-desa merupakan satu lembaga untuk
menjalankan kehendak bersama. Bentuk musyawarah itu bermacam-macam, misalnya
pepatah Minangkabau yang mengatakan : “Bulat air karena pembunuh, bulat kata
karena mufakat”. Secara sederhana, pembahasan sila ke 4 adalah demokrasi.
Demokrasi yang mana dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pemimpin yang hikmat
adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, dan seterusnya
pada hal-hal yang bersifat fisis/jasmaniah; sementara kebijaksanaan adalah
pemimpin yang berhatinurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya pada hal-hal
yang bersifat psikis/rohaniah. Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu
lebih mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) dan juga dewasa
(bijaksana). Itu semua negara demokratis yang dipimpin oleh orang yang
dewasaprofesional dilakukan melalui tatanan dan tuntunan
permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat menunjuk pada NKRI sebagai
Negara demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang profesional-dewasa melalui
sistem musyawarah. [4]
E.
Penistaan agama dalam nilai keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu
tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun
batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya
abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat
operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh
nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai.
Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan
dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia. 2. Nilai
Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum
Upaya mewujudkan Pancasila sebagai
sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi
penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar
pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan
norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang
merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan
berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila berkedudukan
sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (norma fondamental
negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya
dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan,
ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan,
dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental
sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila. Sistem hukum di Indonesia
membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan. Tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000
tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Undang-undang
3. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Daerah
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Undang-undang/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perpu)
3. Peraturan pemerintah
4. Peraturan presiden
5. WERBN Peraturan daerah.
Pasal
2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya sebagai
dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Alinea
IV. 3. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Etik. Upaya lain dalam mewujudkan
pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila
sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai
moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam
norma-norma moral (etik).
Norma-norma etik tersebut
selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat
ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap
dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai
nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR
No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan
Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai
pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari
nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan
bermasyarakat.
Etika Sosial dan Budaya, Etika ini
bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap
jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan
tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu
juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua
yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk
itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan
diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat danlapisan
masyarakat.[5]
[1] Fpi.or.id. 2016. Ketuhanan Yang Maha Esa. (Online), (http://www.fpi.or.id/2016/10/ketuhanan-yang-maha-esa-13-hubungan.html, Diakses : 27 November 2016).
[2]
http://dokumen.tips/documents/contoh-makalah-pancasila-sila-2.html
[3]
http://midawatii.blogspot.co.id/2013/12/makalah-sila-ke-3-persatuan-indonesia.html
[4]
http://likkachus.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pendidikan-pancasila-tentang.html